Powered By Blogger

Sabtu, 23 Juli 2011

Dio

Dio, bocah kecil berusia 6 tahun yang memiliki tawa khas, yang segar dan ceria.
“Assalamualaikuuuum.. ibuuu..oh..ibuuuu..” begitu sapaanya setiap tiba di sekolah, dengan gaya menirukan upin ipin
Anak ini sering membuat para guru terpingkal pingkal dengan gaya dan celetukannya, namun guru-guru juga sering mengeluh tentang perilakunya. Setiap hari ada saja tingkahnya yang layak diperbincangkan. Mulai dari keisengannya berebut tempat duduk dengan teman sesama lelaki, sampai keusilannya membuka resleting teman perempuannya.
Pernah suatu hari, seorang anak perempuan menangis terisak. Saat ku tanya kenapa, bocah perempuan itu berkata “ pipi saya dicium Dio bu…hiks” sejak saat itu Dio semakin disegani teman temannya, karena kenekatannya. Dia pun tak pernah takut pada kakak-kakak kelasnya, jika berkelahi, dia sanggup menghadapi lawan meskipun badan lawan jauh lebih besar darinya.
Para guru tahu dengan jelas bahwa setiap hari selalu ada anak yang menjadi korban keagresifan Dio, bahkan Ibunya yang selalu mengantar jemput setiap hari, tahu betul tingkah laku anaknya di sekolah. Saat ku coba membuka diolog dengan ibunya, untuk menangani perilaku Dio, ibu berkaca mata itu sangat yakin bahwa apa yang dilakukan anaknya, hanya bentuk kenakalan yang wajar, lebih lanjut sang ibu mengatakan bahwa anaknya memang lebih dewasa dari teman-temannya karena di rumah dia bergaul dengan orang-orang yang lebih tua darinya.
“Kedewasaan” itu begitu tergambar ketika aku dan Dio duduk berdua sambil mengobrol diteras sekolah.
“ Bu dah pernah makan es krim Magnum?”
“ Sudah, Dio?”
“Oh sering bu, kan saya punya temen yang udah kerja di pabrik jadi dia sering beliin saya”
“ Temen Dio udah kerja? Masih kecil?”
“ Nggak, dah bapak bapak, Dio kan temennya banyak, pengamen yang di perempatan sama juga temen Dio bu, dia nggak sekolah, adiknya banyak jadi dia harus cari uang buat adiknya, Namanya Si Gepeng” begitu Dio menceritakan kerasnya perjuangan hidup seorang pengamen yang dianggapnya sebagai teman.
Obrolan singkat itu, membuatku semakin mengerti mengapa Dio begitu special.
Di usianya yang baru 6 tahun, Dio telah bergaul dengan orang-orang dewasa yang telah begitu kenyang dengan realita kehidupan, dengan orang-orang yang berjuangan mempertahankan hidup penuh keberanian. Sebenarnya dengan lingkungan seperti itu, Dio berpotensi tumbuh menjadi anak yang peduli pada lingkungan sekitarnya, mampu berempati dengan orang-orang yang tidak lebih beruntung darinya, dan Dio akan menjadi anak yang berani menghadapi tantangan hidup. Namun ketika tak ada seorangpun yang membimbingnya, seorang Dio belum mampu membedakan antara keberanian dan kenekatan.
Guru, masihkan kita merasa bahwa anak didik kita akan tumbuh menjadi manusia yang sama, dengan atau tanpa bimbingan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan beri komentar