Powered By Blogger

Sabtu, 23 Juli 2011

Resep Semangat Ala Itan

Diamanahi tugas sebagai seorang guru matematika yang harus mengajar 28 jam seminggu di MI, ditambah 4 jam di Mts, memberi pelajaran tambahan di sore hari, serta di malam harinya harus mempersiapkan perencanaan, penyiapan media pembelajaran, serta instrumen evaluasi. Seperti itulah aktivitas harian yang kujalani sebagai seorang guru saat ini. Dalam hitungan professional sepertinya apa yang kulakukan termasuk over dosis. Waktu terasa begitu sempit, dan aktivitas terasa begitu berimpit. Namun jalan ini telah kupilih sendiri, dengan kesadaran akan berbagai tanggung jawab yang menyertainya.
Sebuah pilihan hidup yang kuputuskan melalui proses panjang. Menjadi guru bukanlah cita-cita masa kecilku. Tapi aku yakin pilihan ini akan membawaku pada petualangan panjang penuh tantangan, pada kecerian yang menyenangkan, pada perenungan makna hidup yang dalam, serta membawaku pada tujuan sebenarnya.
Namun tak selamanya aku sadar akan besarnya tanggung jawab ini. Untuk beberapa saat kelelahan itu datang menghampiri, kejenuhan itu mengusikku untuk sejenak rehat dari rutinitas ini.
Ada beberapa hal yang menjadi penyembuh saat kelelahan dan kejenuhan melanda.
Yang pertama adalah angin. Ketika rasa jenuh dengan aktivitas yang terasa berulang setiap hari, aku coba untuk mencari angin. Caranya adalah naik Angkot dari tempat tinggalku di Bida Ayu menuju Panbill,pertokoan terdekat dari tempatku. Meskipun tidak berniat masuk kedalam pertokoan itu, aku sengaja pergi untuk sekedar merasakan angin yang menyapu mukaku selama perjalanan di dalam angkot. Sengaja ku pilih tempat duduk dekat jendela, karena saat angkot berjalan, melalui jendela angin akan masuk ke dalam rongga hidungku sampai semua udaranya terasa memenuhi paru-paru. Beban berat yang terasa di dada, berganti dengan udara baru yang ku dapatkan dari sang angin.
Jika kelelahan itu semakin terakumulasi, maka ada cara kedua yang kulakukan yaitu pergi ke toko buku. Sejujurnya aku tidak begitu rakus membaca buku. Tapi berada di toko buku membuat suasana hatiku nyaman, aroma ruangan ber-AC yang dilengkapi pewangi, suara music yang sayup-sayup mengiringi aktivitas membaca, juga kumpulan berbagai buku itu, seakan berbicara padaku.
“ Ayo semangat Itan,kau tak akan mengalami kebuntuan karena ada berbagai buku strategi disini” begitu kata buku-buku pengajaran
“ Iya tan, kalau kau merasa jenuh, aku ada disini” buku motivasi menambahkan.
“Kami, buku-buku cerita juga akan mengajarimu tentang kehidupan dan membuatmu lebih memahami dunia yang sedang kau jalani” begitu kata Si Novel tak mau kalah
“ Berjuang tan, kelak buku karyamu juga akan ada disampingku, memenuhi rak-rak ini, setelah kau mampu memaknai perjalanan hidupmu” sahut buku filsafat memberi semangat
Namun dari berbagai buku yang ada di sana, ada satu yang paling istimewa yang sangat menenangkanku “bacalah aku, karena dengan membacaku kau tak akan pernah tersesat, aku pedoman hidupmu” –My Holly Al-qur’an-Kumpulan lembaran kertas yang terlalu istimewa untuk disebut buku, karena berisi firman-firman Tuhanku yang menenangkan sekaligus memberiku kekuatan.
Dua cara itu biasa kulakukan di siang hari, jika kesendirian menyergapku di malam hari maka ada satu cara lagi untuk melepaskan semua kekosongan dalam hati yaitu dengan memandangi langit di malam hari. Bintang-bintang yang bertaburan di dalamnya, bulan yang terang dengan cantiknya membuatku menyadari aku tak pernah sendiri, selalu ada Penciptaku disini. Saat ku menengadahkan mukaku ke langit, duniaku menjadi sangat luas, aku bukan hanya bagian dari sebuah sekolah, tapi aku adalah bagian dari alam semesta. Langit mengingatkanku pada tujuan tinggi yang ingin ku raih dan bintang –bintang itu mengingatku pada teman seperjuangan yang bertebaran di berbagai sekolah.
Demikianlah caraku kembali semangat.

Dio

Dio, bocah kecil berusia 6 tahun yang memiliki tawa khas, yang segar dan ceria.
“Assalamualaikuuuum.. ibuuu..oh..ibuuuu..” begitu sapaanya setiap tiba di sekolah, dengan gaya menirukan upin ipin
Anak ini sering membuat para guru terpingkal pingkal dengan gaya dan celetukannya, namun guru-guru juga sering mengeluh tentang perilakunya. Setiap hari ada saja tingkahnya yang layak diperbincangkan. Mulai dari keisengannya berebut tempat duduk dengan teman sesama lelaki, sampai keusilannya membuka resleting teman perempuannya.
Pernah suatu hari, seorang anak perempuan menangis terisak. Saat ku tanya kenapa, bocah perempuan itu berkata “ pipi saya dicium Dio bu…hiks” sejak saat itu Dio semakin disegani teman temannya, karena kenekatannya. Dia pun tak pernah takut pada kakak-kakak kelasnya, jika berkelahi, dia sanggup menghadapi lawan meskipun badan lawan jauh lebih besar darinya.
Para guru tahu dengan jelas bahwa setiap hari selalu ada anak yang menjadi korban keagresifan Dio, bahkan Ibunya yang selalu mengantar jemput setiap hari, tahu betul tingkah laku anaknya di sekolah. Saat ku coba membuka diolog dengan ibunya, untuk menangani perilaku Dio, ibu berkaca mata itu sangat yakin bahwa apa yang dilakukan anaknya, hanya bentuk kenakalan yang wajar, lebih lanjut sang ibu mengatakan bahwa anaknya memang lebih dewasa dari teman-temannya karena di rumah dia bergaul dengan orang-orang yang lebih tua darinya.
“Kedewasaan” itu begitu tergambar ketika aku dan Dio duduk berdua sambil mengobrol diteras sekolah.
“ Bu dah pernah makan es krim Magnum?”
“ Sudah, Dio?”
“Oh sering bu, kan saya punya temen yang udah kerja di pabrik jadi dia sering beliin saya”
“ Temen Dio udah kerja? Masih kecil?”
“ Nggak, dah bapak bapak, Dio kan temennya banyak, pengamen yang di perempatan sama juga temen Dio bu, dia nggak sekolah, adiknya banyak jadi dia harus cari uang buat adiknya, Namanya Si Gepeng” begitu Dio menceritakan kerasnya perjuangan hidup seorang pengamen yang dianggapnya sebagai teman.
Obrolan singkat itu, membuatku semakin mengerti mengapa Dio begitu special.
Di usianya yang baru 6 tahun, Dio telah bergaul dengan orang-orang dewasa yang telah begitu kenyang dengan realita kehidupan, dengan orang-orang yang berjuangan mempertahankan hidup penuh keberanian. Sebenarnya dengan lingkungan seperti itu, Dio berpotensi tumbuh menjadi anak yang peduli pada lingkungan sekitarnya, mampu berempati dengan orang-orang yang tidak lebih beruntung darinya, dan Dio akan menjadi anak yang berani menghadapi tantangan hidup. Namun ketika tak ada seorangpun yang membimbingnya, seorang Dio belum mampu membedakan antara keberanian dan kenekatan.
Guru, masihkan kita merasa bahwa anak didik kita akan tumbuh menjadi manusia yang sama, dengan atau tanpa bimbingan kita?

Balada Subuh


“Dor…dor..dor..dor..!!!!” suara pintu digedor dengan nada dasar 4/4, Jika belum ada sahutan dari dalam, maka “gedoran” pun berlanjut dengan nada yang lebih tinggi diikuti dengan teriakan.
“Sholat..sholat..sholat..!!!”
“Iya taaaad..” sahut mereka dari dalam kamar
Layaknya alarm, suara itu menjadi penanda datangnya waktu sholat shubuh bagi mereka, suara adzan yang datang dari masjid tak mampu membuat mereka terlepas dari bantal yang menempel di kepala.
Dengan gedoran pun mereka masih tetap berada di atas kasurnya, meski kasur itu tidak empuk sama sekali, tapi menjadi tempat yang nyaman untuk bermalas-malasan. Perlahan, gerakan-gerakan lambat mulai terlihat, satu orang membalikan badan dari kiri ke kanan, satu orang lagi mulai bangkit setengah hati, dengan melipat badannya membentuk posisi sujud, dan yang lain malah menutupi kepala dengan selimut.
Mereka telah menempati kamar itu lebih dari setahun, atas nama ilmu agama mereka datang dari berbagai pulau disekitar batam, menjadikan kamar itu sebagai tempat persinggahan terbaik selama mereka jauh dari mama dan bapak.
Tak ada aroma kopi hangat milik bapak, yang merayu mereka untuk bangun pagi, tak ada juga nasi goreng buatan mama yang harum bawangnya memaksa mereka untuk segera menuju dapur. Mereka hanya sadar bahwa setiap pagi mereka harus sekolah, meskipun bayangan sekolah tidak lebih menyenangkan dari pada tidur.
Sekolah yang menjadi tumpuan harapan mereka, sering mengecewakan. Ketika telah datang tepat waktu ke sekolah, tak satupun guru yang menunjukan batang hidungnya, untuk sekedar mendapat transfer ilmu, tak jarang mereka harus menunggu sampai bosan, sampai muncul semangat pemberontakan untuk meninggalkan sekolah tanpa permisi. Namun tak ada satu pun yang mengerti bahwa pemberontakan itu menunjukan besarnya keinginan mereka untuk mendapatkan pengajaran.
“Kami ingin didengar, kami ingin diperhatikan..” jika mereka sanggup untuk berdemo maka kalimat itulah yang ingin mereka sampaikan.
Balada subuh ini akan terus dan terus berulang sampai masuk ke alam bawah sadar mereka, menjadi kenangan tak terlupakan selama masa sekolah, yang tak ingin mereka lalukan pada anak cucu mereka kelak. Mereka berharap, kelak setiap anak mencintai sekolah, menantikan saat subuh tiba, karena setelah subuh mereka akan menjemput impian mereka.